jam

JANGAN SEKALI KALI MELUPAKAN SEJARAH

search

Google Yahoo Msn

Jumat, 31 Mei 2013

Suku bangsa di Bengkulu

Suku Serawai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Serawai
Jumlah populasi

Kawasan dengan populasi yang signifikan
Bengkulu Selatan
Kepahiang
Lebong
Rejang Lebong
Bahasa
Melayu Tengah
Agama
Islam
Animisme
Kelompok etnik terdekat
Suku Rejang
Suku Lembak
Suku Pasemah
Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi terbesar kedua yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.

Sejarah

Asal-usul suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku Serawai hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang bernilai sejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.
Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk didiaminya, dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan Puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat cerita singkat mengenai seorang puteri yang bernama Puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut, sedangkan kisah Puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa Puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.
Apabila kita simak cerita tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah Puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa Puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama Puteri Tenggang. Dikisahkan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta kepada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan seksual dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini Puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah Puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi pernikahan antara Putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah Puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.
Setelah pernikahan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu: Semidang Tungau, Semidang Merigo, Semidang Resam, Semidang Pangi, Semidang Babat, Semidang Gumay, dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :
  • Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
  • Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
  • Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
  • Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
  • Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
  • Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat;
  • Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal-bakal suku Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.

Definisi Serawai

Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya, sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan antar sesama suku Serawai sangat kuat (khususnya mereka yang menumpang hidup di komunitas suku bangsa lainnya/merantau). Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :
  • Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni sungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh bukit Campang;
  • Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bermakna celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara, kemudian di situlah anak raja tersebut membangun negeri.
  • Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti gadis atau perawan. Pendapat ini berdasarkan pada cerita yang mengatakan bahwa suku Serawai adalah keturunan sepasang suami-istri. Sang suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan istrinya adalah seorang puteri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Rejang dialek Lebong, puteri atau gadis disebut Selaweie. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.

Aksara Serawai

Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya aksara Kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.

Kamis, 30 Mei 2013

SOEKARNO



Jumat, 20 Januari 2012

WARTAWAN


Tentang Wartawan

Seorang rekan melontarkan pertanyaan, "apa sih tugas dan fungsi wartawan itu?" Sesaat saya tercenung. Bingung. Karena jawaban untuk pertanyaannya itu - saya tahu pasti - dia sendiri sudah punya di benaknya. Tapi yang membikin saya bingung, dan segan untuk memberikan jawaban, tak lain karena rasa 'miris' dari pertanyaan selanjutnya yang diprediksi akan memojokkan saya ke sudut yang menyulitkan saya untuk bergerak menghindar secara leluasa.

Secara sederhana, tugas wartawan adalah mencari berita, mengolah/menulis berita yang didapatnya itu, kemudian mempublikasikan di media tempatnya bekerja. Sementara fungsi wartawan adalah kontrol sosial. Tapi tetap dalam konteks tugasnya itu. Sebagaimana dilukiskan Alm. PK Ojong - pendiri Harian Kompas - sebuah peristiwa yang hanya dibicarakan antar teman, sebagai gosip lisan yang terbatas pada beberapa gelintir manusia, tidak menjadi efek sosial, tidak dapat berkembang menjadi kontrol sosial, sekalipun peristiwa itu sebegitu besar ukurannya.

Nah, barulah apabila peristiwa itu disusun oleh wartawan, diolah jadi sebuah berita, kemudian dipublikasikan, barulah memiliki efek sosial, barulah menjelma jadi kontrol sosial.

Sementara fenomena yang terjadi saat ini, nah, inilah yang membuat saya 'miris' untuk memberikan jawaban pada pertanyaan rekan saya tadi, banyak makhluk bernama wartawan yang tidak lagi ditemui memanggul tugas dan fungsinya tadi di atas pundaknya. Mereka yang mengaku sebagai 'insan pers,acapkali ditemui di lapangan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik PWI, maupun KEWI. Bahkan tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang kurang manusiawi, atau dengan kata lain: bergaya premanisme, radikal dan brutal, dan yang paling membuat 'miris' bukan dalam rangka mencari berita, melainkan untuk memperoleh lembaran rupiah.

Mengapa hal ini dapat terjadi? bisa jadi pasca-seorang bernama M. Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan di era BJ Habibie membebaskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dan disusul dengan lahirnya UU nomor 40 tahun 1999, sehingga tak pelak lagi, ibarat air bah, kita dapat melihat setelah adanya upaya pembebasan pers dari ketentuan perizinan, dunia penerbitan pers mulai dari yang serius, setengah serius, hingga yang latah dan sekedar cari popularitas, atau penerbitan media yang didukung dengan modal sekaliber kakap, dan hingga yang hanya modal nekad saja,nbanyak beredar di sekitar kita.

Inilah masalahnya. penerbitan pers ternyata tidak dibarengi dengan SDM yang seimbang. Maka tampaklah sangat timpang. Kemudian mereka pun ambil jalan pintas. Tapi bisa juga sebagai sebuah taktik mereka, para pengelola media itu, dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk dijadikan modal penerbitan. Saat itu SDM makhluk yang disebut wartawan yang profesional dan berpengalaman sangatlah terbatas.Karena terserap oleh penerbit yang telah mapan. Sehingga dengan menawarkan ID-card kepada orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya (dalam dunia jurnalistik, tentu saja), untuk ditebus dengan nilai yang berkisar antara Rp 100.000,00 hingga limaratus ribuan (Itu mugkin tergantung pada kelihaian, dan 'siapa'. yang dihadapi pemilik penerbitan pers itu sendiri). Setelah transaksi itu terjadi, selanjutnya dibebankanlah sekian eksemplar setiap kali terbit kepada sang 'wartawan' itu, atau yang rada-rada proteksionisme, sang wartawan baru itu harus memberikan deposit untuk sekian eksemplar pada beberapa kali penerbitan.
Sehingga yang terjadi, ya, itu tadi.... sudah tidak memiliki latar belakang jurnalistik, dan kemampuan berkomunikasi yang pas-pasan, apalagi mengetahui Kode Etik (Kode togel 'kali), maka dibenak sang 'wartawan' itupun bukannya melakukan tugas mencari berita, melainkan: bagaimana mendapatkan uang untuk membayar koran yang dibebankan. Maka tak pelak lagi, citra makhluk yang bernama wartawan di mata masyarakat dewasa ini, lebih kotor dari gundukan sampah!!! Dan saya pun tetap membisu, enggan memberi jawaban terhadap pertanyaan rekan saya itu